dilema Umar Bakri (sebuah perspektif)

gitarnya mainkan bosss:

Guru Umar Bakri
Iwan Fals ( Album Sarjana Muda 1981)

Tas hitam dari kulit buaya
Selamat pagi berkata bapak Umar Bakri
Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu
Laju sepeda kumbang dijalan berlubang
Selalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak polisi bawa senjata berwajah garang

Bapak Umar Bakri kaget apa gerangan?
“Berkelahi pak!” jawab murid seperti jagoan
Bapak Umar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut kalang kabut
(Bakri kentut)cepat pulang

Busyet… standing dan terbang

Umar Bakri Umar Bakri
Pegawai negeri
Umar Bakri Umar Bakri
Empat puluh tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Umar Bakri Umar Bakri
Banyak ciptakan menteri
Umar Bakri
Profesor dokter insinyurpun jadi
(Bikin otak orang seperti otak Habibie)
Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri
Seperti dikebiri

Bakri Bakri
Kasihan amat loe jadi orang
Gawat

Nah lho, bagi anak-anak jaman sekarang, nama ini mungkin sudah tidak dikenal lagi. Tapi pada jamannya, terutama bagi para penggemar bang Iwan fals, nama ini cukup populer. Beliau adalah nama rekaan yang mendeskripsikan seorang guru pegawai negeri dengan sepeda kumbangnya. Yups, Umar Bakri dalam lagu ini adalah seorang guru yang mengajar di sekolah yang murid-muridnya hobi tawuran :p.

Guru Umar Bakri, berbakti pada negeri,berusaha mencerdaskan anak bangsa…. tetapi, seperti banyak yang para guru rasakan, terutama yang honorer…. gajinya pun kecil sekali. Belum lagi banyak dipotong sana sini oleh para koruptor atau cicilan bulanan ataupun arisan.

Selain itu, beberapa orang guru juga mungkin pernah mengalami bullying oleh para siswaya (lho kok ada?)…dari mulai dikerjain, dicuekin, ditinggal kabur, dilipsing-in, dikirim sms kaleng, atau bahkan dilaporkan siswa hanya karena ‘I slap u ( w/ the ruler)’ as known as nampar pake penggaris.hihi

Tapi ya itulah dinamika kehidupan. Untuk apa ada sekolah kalau semua anak sudah pintar dan dewasa dalam mengambil tindakan. Ada simbiosis mutualisme sebetulnya antara guru dan siswanya, selain saling sharing ilmu, yang notabene lebih dominan dari guru ke muridnya, juga adanya saling membangun kepercayaan, persahabatan, canda tawa, kekonyolan, kesialan, apapun itu. Seorang guru bisa dengan mudah mengubah mood negatifnya menjadi positif di hadapan anak-anak. Guru yang profesional tentunya, sebetulnya tahu kapan harus menempatkan masalah pribadi atau umum. Tapi tak selamanya begitu. Seorang guru yang semestinya digugu dan ditiru kadang juga bisa berbuat salah. Itu yang semestinya anak-anak mengerti. Seorang guru juga sebetulnya butuh masukan dan kekuatan agar menjadi lebih baik. Karena itulah, murid dalam hal ini, bisa berubah posisi menjadi seorang guru.
So, inilah kenapa tak ada kata berhenti dalam proses belajar, meskipun ia sudah menjadi seorang guru.

Namun akhir-akhir ini, nilai dari seorang guru mengalami degradasi, terutama sejak bergulirnya era reformasi (pada saat jatuhnya era Soeharto)
Kecuali dalam hal kesejahteraan, katanya, beberapa persen agak naik pada saat Gus Dur duduk di kursi, sehingga banyak yang ingin tes CNPS berkali-kali) 🙂

Yups, sejak saat itu, atas nama kebebasan atau HAM, seorang guru seolah tidak punya hak untuk mengontrol siswanya dalam berkarakter. Banyak siswa yang tak lagi punya rasa hormat atau segan terhadap gurunya. Bahkan mungkin justru senang menantang kesabaran gurunya.
Semua pasti setuju jika cara yang lemah lembut atau dari hati ke hati, membicarakan masalah iman dalam pendidikan itu lebih utama daripada sistem kekerasan. Sistem kekerasan hanya berdampak pada ketakutan atau dendam. Saat siswa sudah merasa tak lagi nyaman atau belajar tanpa keikhlasan, apalagi yang diharapkan?

Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
“Hendaklah engkau bersikap lembut. Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)

Namun, mengingat tabiat anak yang berbeda-beda, ada kalanya ketegasan diperlukan juga. Kekerasan asalkan tidak berlebihkan sebetulnya diperlukan demi memperbaiki keadaan jika tak lagi bisa dilakukan dengan kelembutan.
Dan sebetulnya kalau kita cermati, khusus untuk orang Islam, ketegasan semacam itu pernah dicontohkan dalam pendidikan. Mengapa Rasulullah SAW mengijinkan untuk memukul kaki seorang anak usia 10 tahun jika ia tidak mau shalat. Atau memukul istri yang berkhianat. Atau memotong tangan pencuri? Meskipun sebetulnya kita tahu bahwa hal itu tidak ditafsirkan secara sembarangan. Perlu ada banyak pertimbangan. Entah itu dengan melihat latar belakang pelanggarannya, benar atau tidaknya, ada saksi atau tidaknya, apakah dia sakit dsb dan tidak berlebihan.

Rasulullah SAW memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun, pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar z apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf)

Apa sebetulnya peran dari seorang guru? ia hanya bertugas sesuai fungsinya, untuk mendidik, mengajar, mengarahkan, atau memimbing siswanya menjadi orang yg berpendidikan dan berkarakter.
Tidak, tak bisa tugas itu semua diserahkan kepada guru. Banyak hal yang menjadikan seperti apa seorang anak masa depan. Entah itu peran orangtua, masyarakat sekitar atau bahkan media. Kesuksesan tidak dilihat dari seberapa lama ia sekolah, tapi seberapa mampu ia belajar, entah itu dari lembaga formal ataupun sekolah kehidupan. Kecerdasan intelektual hanya berperan sebesar 20%, sedangkan sisanya berupa kecerdasan emosional atau spiritual yang mempengaruhi pola pikirnya dalam menjalani kehidupan.
Kecerdasan kognitif hanya semata penunjang, itulah mungkin mengapa pengembangan karakter akhir-akhir ini banyak digembar-gemborkan lagi.
Kita mungkin ingat berbagai macam modifikasi dari Pancasila, mulai dari PMP, P4, PPkn, Pkn, dan kini kurikulum berkarakter ternyata tak begitu banyak membantu. Kenakalan remaja terutama anak usia sekolah justru semakin banyak. Apa ini kegagalan sistem pendidikan, atau kegagalan pelaku pendidikan?
Umar..Umar…kau lagi yg disalahkan.

Jika begitu, mungkin kita perlu lihat ke akar permasalahannya. Bisa jadi ini bukan lagi kasus krisis moral, tapi krisis yang lebih mendasar, yaitu iman. Dimana tak ada lagi keyakinan yang mendalam dengan prinsip yang ia pegang.
Sebagai seorang muslim, apakah ini merupakan gejala krisis akidah? Bila benar demikian, solusinya adalah back to basic, back to the root, dimana peran orangtua dalam mendidik iman anak-anaknya sangat dibutuhkan. Pu tentunya hal ini didukung dengan adanya kerjasama antara ortu dengan pihak sekolah serta masyarakat. Dan media…oh, please…stop broadcasting the bad ones. Bukannya menjadi contoh yang baik, pemberitaan media justru malah memperburuk keadaan. Dengan menjadikan bahan inspirasi yg negatif terutama bagi mereka yang belum dewasa dalam memilih. Banyak tayangan yang tidak mendidik, yang jutru mengarahkan banyak pihak pada jurang kehancuran. Wallohu’alam.

Jadi, itulah sekelumit derita seorang ‘Umar Bakri’ yang ingin mendidik tapi tak begitu mampu berkutik.
Salutation bagi mereka yang tetap mampu berdedikasi dengan ikhlas, salam hormat bagi para guru di seluruh dunia.
Dan anak-anak tercinta, yang suatu saat tak lagi muda,
atau mereka yang terkekeh-kekeh ketika membaca
yang ingat dengan guru killernya, guru yg suka bagi-bagi hadiah,guru yg hobbynya curhat atau makan permen, guru yang suka makcomblangin, atau bahkan guru sexy, guru ganteng, guru sejenis James McAvoy, atau mungkin guru yang cupu dan ga banget…
mari kita hormati pahlawan tanpa tanda jasa ini
dengan membangun kepercayaan dan kasih sayang serta do’a yg tulus semoga Alloh membalas segala amal baik para guru kita. aamiin

Leave a comment