Tiba-tiba, otakku langsung berputar mencari benang merah. Teringat seorang siswa tampan pujaan para gadis di sekolah. Tidak, mana mungkin dia. Sekarang ia tampak begitu berbeda. Tak mungkin.
_________________________________________________________________________________
“ Stop!!!” potongku.
“Kenapa?“ tanyanya kaget.
“Terlalu jauh Far…Bisakah kau langsung ke intinya saja? Apa yang terjadi? Kau jatuh cinta padanya? Apa kalian saling mencintai?….Lalu bagaimana?”
Fara mengangguk. Ia lalu memalingkan wajahnya dariku. Menyembunyikan dengan segera kedua matanya yang menganak sungai.
—-dying inside,The Cranberries—-it’s the terrible thing to see her dying inside—-
Hening.
Aku menghela nafas. Menunggu.
Fara kembali pada mataku. Lalu ia menatap kosong ke sebelahku.
__________________________________________________________________________________
“Mengapa kau memilihku?” tanyanya padaku.
“Aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti instingku.” Jawabku tak jelas.
“Seharusnya sedari dulu tak perlu kau jawab semua pertanyaanku. Jika memang kau meragukanku. Mengapa membiarkan semua terjadi sampai akhirnya sulit diperbaiki. Kau tak pernah punya pendirian. Begitupun orangtuamu. Mengapa dulu ia percaya padaku dan lalu sekarang menghancurkanku.”
“Aku tidak tahu.”
“Mengapa kau memilih sesuatu yang tidak sesuai dengan hatimu. Mengapa menyiksa dirimu sendiri?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu, sekarang bagaimana? Kau pilih siapa?”
“Aku benci, aku tak mau. Aku tak mau ada yang meninggalkanku lagi.“
“Kau bukan anak kecil lagi. Berhentilah merengek. Jangan cengeng. Kau mesti tentukan sikapmu.”
….
“Aku tak bisa. Aku mencintaimu dan mencintai ayahku. Aku tak bisa.”
“Baiklah, kalau begitu, aku saja yang pergi darimu. Buat apa kita terus-terusan menyiksa diri dengan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Aku mencintaimu itu tak perlu dipertanyakan lagi. Tapi aku tak bisa selamanya menunggu atau hidup dalam kebimbanganmu. Aku mesti terus hidup meraih mimpiku.”
Aku menunduk lesu. Kulihat foto anakku yang masih kecil di layar handphoneku.
Aku tak tahu mesti bagaimana lagi. Aku hidup dalam dua dunia. Yang satu kenyataan yang terus menerus mencabik dan menyayat hatiku, dan yang satu adalah dunia imajinasi dimana aku bisa tertawa dengan palsu. Meredam amarah dan luka yang menganga di dada. Tapi semua itu absurd. Tak nyata.
Dan lalu hidup kami seperti back n forth. Kami tak pernah benar-benar bergerak. Aku sayang melihatnya terus seperti itu. Apa aku mesti melepasnya pergi. Aku tak bisa. Aku tak mau
__________________________________________________________________________________________________________________
Aku menyeringai.
Hidup ini penuh liku, begitulah hidupku dan hidupnya. Dan saat kutatap wajah Fara yang sendu, baru aku tahu. Ada seseorang yang mesti kubantu. Menguatkannya dari dalam. Membuatnya tegar dan siap hadapi kenyataan. Sampai saatnya tiba ia mampu mengambil keputusan. Aku akan selalu bersamanya. Mendo’akannya. Meyakinkannya bahwa bintang-bintang akan kembali bersinar di ufuk malam. Semua akan baik-baik saja. Dan ia mesti berani. Dengan segala resiko yang mungkin terjadi. Aku, di sini, untuk memahami.
__________________________________________________________________________________________________________________
“Sudahlah Far…ayo kita mulai urai benag kusut itu satu-satu. Kubantu kau untuk memulai ok?”
Fara menatapku lekat.
“Makasih, sahabatku….” Ia tersenyum, meskipun masih hambar. Tapi kuyakin kulihat ada cahaya yang memberkas ke luar.
__________________________________________________________________________________________________________________
Perlahan wajah lugu, lelah dan berkantung mata di hadapanku itu mulai ambigu. Lalu blur, tak jelas. Dan kemudian yang kutatap hanyalah diriku. Sendirian. Usang. Dengan satu pengharapan.